Jumat, 29 Juli 2016

Dibalik Berita Ibu Sri Mulyani

Saya menulis artikel ini setelah saya membaca artikel-artikel maupun media massa di internet maupun koran. Setelah malam hari mendapatkan kabar dari group WA teman SMA yang bekerja di kemenkeu bahwa esok ( 28 Juli 2016 ) reshuffle para menteri salah satunya adalah Ibu Sri Mulyani telah ditarik kembali ke pangkuan Ibu pertiwi. Saya semakin aktif untuk mencari informasi. Dan ternyata Bapak Muhadjir Effendy juga akan dilantik untuk mengisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Bapak Anies Baswedan. Ada banyak hal yang saat ini mengisi otak saya untuk beropini, terutama sebuah kisah dibalik masuknya Ibu Sri Mulyani.

Saya bukan ahli politik. Saya hanya seorang karyawan di External Public Relations di salah satu hotel berbintang di Solo. Namun sejak tidak tahu kapan tepatnya saya suka mencari informasi tentang perpolitikan. Seperti halnya tentang berita di media massa, cetak, elektronik maupun visual sudah sangat banyak yang mengupdate informasi mulai akan ditariknya Ibu Sri Mulyani ke Indonesia kembali. Sontak hal terssebut semakin membuat Indonesia berbahagia. Banyak sekali yang menulis opini positif terhadap rencana ini, dan kemudian Indonesia bersuka cita karena hal tersebut telah terwujud. Namun belum puas Indonesia mulai memiliki harapan, kembali Indonesia harus menelan racun pahit dalam dirinya. Iya ternyata mereka memanfaatkan PR sebagai fungsi pisau tajamnya di dua matanya. Dibalik itu semua ternyata Wiranto pun juga diangkat menjadi Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan ( Menko Polhukam ). Hal ini sama sekali tidak terendus oleh media. Misalkan terendus mungkin juga tidak dipublikasi sehingga berita tentang diangkatnya Wiranto. 

Pada awalnya saya tidak begitu peduli dengan Wiranto, setelah saya melakukan riset kecil-kecilan, ternyata banyak sekali media yang mengangkat namanya sebagai salah seroang yang seharusnya mempertanggungjawabkan tragedi Sabtu Kelabu pada tahun 1996, juga hilangnya para aktivis, serta Tragedi Pancasila dsbg. Meski hal tersebut sudah menjadi sebuah rahasia umum namun tidak ada yang mampu membuktikan tentang itu semua, sehingga dia pun masih mampu berkeliaran. Fatalnya, saat ini dia harus duduk di kementerian di posisi yang sangat strategis untuk melakukan kuliner politik di dalamnya. Tidak heran jika pada akhirnya banyak sekali masyarakat Indonesia yang berteriak memekik dengan hadirnya dia pada dunia perpolitikan. 

Saya pribadi masih belum mampu mencerna menggunakan logika sehat saya saat pemilihan presiden, Wiranto duduk sebagai rival Jokowi untuk memperebutkan kursi kepresidenan, namun setelah berjalannya wkatu roda pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi, Wiranto justru menjadi koalisi. Meskipun hal seperti ini menjadi sebuah maklum politik bagi masyarakat Indonesia, namun logika saya masih belum mampu mencernanya. Maklum dalam artian dengan kondisi politik negeri ini, dimana semuanya menjadi abu-abu tidak ada lagi yang hitam ataupun putih. Dimana semuanya semakin rancu dengan bendera masing-masing organisasi dan melupakan tujuan utama sebagai pemimpin. Masih terlalu banyak hal yang harus saya pelajari dan buku yang saya baca untuk meningkatkan kapasitas pribadi saya. Tulisan ini saya tulis hanya untuk meluapkan apa yang terlintas dalam benak saya. Demikian pun semakin saya mengerti betapa saya masih sangat bodoh, dan juga semakin faham mengapa rasulullah menganjurkan ummatnya untuk belajar ilmu politik yang pada masanya disebut sebagai ilmu shiyasah. 

Salam damai untuk Negeri tercinta kita Indonesia.

Selasa, 10 Mei 2016

Narimo Ing Pandum

Narimo ing pandum atau biasanya orang jawa mengejanya lebih ringkas lagi "Nrimo ing pandum". Tiga suku kata yang menjadi sebuah mantra jitu bagi orang jawa untuk mengingatkan diri akan kemurahan hati Tuhan dalam setiap pemberiannya. Maksudnya adalah ikhlas dengan segala pemberiannya. Setelah pindah kerja di Solo, saya bertemu dengan orang-orang yang berkepribadian jawa solo. Dimana kepribadian tersebut memilki kontradiksi dengan masyarakat di sekitar saya sebelumnya yakni Jawa Timur. Iseng saya berdiskusi dengan senior di tempat kerja tentang pengertian kalimat narimo ing pandum. Bahkan saya juga googling untuk mendapatkan banyak input-an tentang kalimat tersebut. Tersebut saya menyimpulkan bahwa narimo ing pandum memiliki arti lebih mengarah pada kesyukuran pada Tuhan yang telah memberikan jalan kehidupan. Apapun jalannya, namun bukan berarti tidak melakukan apa-apa padahal bisa jika berusaha.

Tapi entah mengapa saya yang notabene orang jawa orang asli jawa yang dibesarkan di lingkungan jawa juga, mulai merasa tidak sreg dengan 3 kata yang menjadi satu kalimat mantra jawa yang mujarab tersebut. Bukan perkara saya tidak cinta dengan budaya orang jawa atau saya tidak bisa menerima kalimat mantra yang penuh dengan nasihat panjang ini. Tapi lebih ke sikap berontak saya dengan kenyataan yang ada di sekitar saya. Saya tidak tahu itu sikap berontak atau memang justru saya yang tidak bisa narimo ing pandum ? Yang pasti, kalimat inilah yang menurut saya telah membantu negeri ini manjadi negeri yang semakin terpuruk dan terperosok ke jurang. 

Saya terlahir di salah satu desa di Kabupaten Ponorogo yang tidak pernah mendapat perhatian lebih dari pemerintahan. Bahkan saya sendiri tidak begitu yakin apakah perangkat desa saya memiliki semangat juang dan dedikasi tinggi untuk membangun desa dan memajukan kemakmuran masyarakatnya.  (Karena saya belum pernah mendengar bahwa perangkat desa memiliki program menarik yang mengacu pada peningkatan kapasitas dan perekonomian pada masyarakat desa). Berbicara tentang kemakmuran maka kita tidak akan terlepas dari kata perekonomian. Perekonomian tidak akan terlepas dari pendidikan. Pendidikan yang saya makasudkan disini bukanlah pendidikan formal seperti pada umumnya orang memberikan value. Namun lebih ke pendidikan untuk mengarahkan masyarakat berfikir lebih jauh ke depannya, sebut saja pemberdayaan perekonomian dan lain sebagainya dimana melalui pemberdayaan tersebut akan memberikan jalan keluar bagi masyarakat untuk mengangkat perekonomian rumah tangga mereka. Namun pada kenyataannya semua itu hanya menjadi bayangan saya sendiri yang saya tidak tahu kapan hal tersebut akan terjadi. Dari kejadian tersebut saya semakin menyalahkan kalimat "narimo ing pandum". Karena kalimat tersebutlah yang telah dimanfaatkan untuk menjadi tameng persembunyian orang-orang yang malas. 

Saat saya mulai melakukan penyuluhan di tetangga sekitar tentang pola fikir mereka mengenai peningkatan perekonomian masayarakat, mereka hanya menjawab "begini saja sudah enak, narimo ing pandum" atau jawaban lainnya "hallah ribet mbak, begini saja nrimo mbak", atau jawaban lainnya "itu nanti akan langsung dapat bantuan atau gimana mbak ?" begitu dijelaskan tentang pendidikan pemberdayaan ekonomi mikro secara sekilas sedikit sekali bagi mereka yang memberi respon positif. Kebanyakan dari mereka masih tetap asyik dengan kesantaiannya dan belum berani untuk keluar dari zona nyamannya. Saya cukup terpaku dengan kenyataan di masyarakat saya, dan saya yakin sekali hal ini tidak hanya terjadi di daerah tempat saya saja. Lingkungan yang nyaman telah membentuk kepribadian mereka menjadi seorang yang pecundang yang bersembunyi dibalik kata-kata narimo ing pandum. Bagi saya demikian adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri, keluarga dan juga para sesepuh yang telah memberikan ajaran kaliamat tersebut yang sebenarnya memiliki kandungan sangat positif.

Kamis, 24 Maret 2016

Karena Laki-Laki Memiliki Otoritas

Menurut saya hubungan yang paling kompleks adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Bukan mereka sebagai saudara atau sebagai ayah atau ibu. Namun hubungan kompleks tersebut adalah hubungan yang memang melibatkan lebih banyak perasaan dan otoritasi akal sehat. Mengapa hal ini saya anggap paling kompleks ? Alasannya sangat sederhana saja, karena mereka itu adalah dua insan yang tidak saling mengenal dan kemudian bertemu, saling tertarik, saling mengungkap saling berbagi dan bahkan saling mencakar kemudian. Peran perasaan sangat luar biasa hebatnya sehingga mampu merubah seseorang yang awalnya bukan apa-apa menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa. Berbeda dengan hubungan keluarga atau pertemanan yang mungkin tidak begitu dahsyatnya mempengaruhi diri sendiri dan mungkin semuanya akan berjalan flat saja. Dan bahkan tanpa memiliki rasa emosional tinggi sehingga semua berjalan berdasarkan hak dan kewajiban saja. Namun ini hanya sebagian saja, tetap saja ada banyak keluarga yang tetap menomor satukan rasa emosional dalam hubungan sehari-hari namun tetap tidak sedahsyat dengan hubungan lawan jenis.
Katakanlah seorang anak yang memberi syarat kepada Ayahnya untuk membelikan sepeda baru jika dia mampu mendapatkan juara pertama di kelasnya. Atau seorang adik yang berjanji kepada kakaknya untuk tidak bilang ke Ayahnya saat Kakaknya sedang bolos sekolah asal si adik dibelikan jajan. Semua masih tentang syarat. Namun bagaimana dengan hubungan tanpa syarat ? Sebuah hubungan yang kata “mereka” adalah cinta. Dimana kata “mereka” juga adalah sebuah perasaan saling tertarik dan kemudian mampu memberikan segala bentuk pengorbanan tanpa meminta kembalian atau meminta suatu balasan. Saya sendiri tidak pernah bahkan belum memahami apa arti cinta yang sesungguhnya. Ini bukan karena saya adalah orang-orang yang juga menentang sebuah hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan. Saya adalah wanita normal yang juga memiliki rasa tertarik dengan lawan jenis. Dan berdasarkan pengalaman pribadi maupun berdasarkan observasi saya terhadap lingkungan sekitar, satu kata yang memiliki sejuta kekuatan ini hanya dimiliki oleh mereka yang masih berada di usia remaja. Bukan berarti mereka yang dewasa tidak. Namun konteks cinta bagi orang dewasa adalah lebih luas, tidak sesederhana dengan apa yang kita saksikan di drama korea masa kini atau di film india dengan nangis bumbai di masa lalu.
Semakin dewasa komplkesitas hubungan laki-laki dan perempuan akan semakin lebih tinggi lagi. Jika memang cinta terhadap pasangan dianggap memiliki kekuatan dahsyat dan memang tanpa syarat. Namun bagaimana dengan perceraian ? bagaimana dengan sikap saling mencakar bagi sepasang merpati ? Mengapa harus ada perseliingkuhan ? mengapa harus ada rasa kejenuhan ? Oke well, menurut saya disini bukan cinta yang menjadi masalah. Namun faktor X dan X lainnya yang pasti menjadi penunjang terjadinya hal-hal demikian.
Kembali ke judul tentang otoritas laki-laki sebagai seorang pemimpin atau seorang yang kuat. Saya sendiri kurang begitu memahami tentang paham HAM dalam persepektif laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah paham persamaan gender. Saya bukan orang yang agamis. Pengetahuan saya tehadap agama juga sangat cetek sebenarnya. Namun saya menulis ini karena saya ingin mengetahui lebih banyak apa opini orang lain. Di satu sisi pada saat ini saya memiliki opini sedemikian rupa yang kemudian masih akan saya pegang sampai betul-betul meyakini sesuatu tersebut dan akan menjadi prinsip saya.
Seperti yang telah dielu-elukan persamaan gender itu perlu, untuk memperjuangkan hak-hak dan kewajiban sebagai laki-laki dan perempuan. Karena memang kasus KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga ) adalah korban utamanya perempuan. Dengan demikian hal ini yang menurut saya melahirkan pengertian yang salah kaprah di masyarakat awam. Dimana perempuan harus berteriak ngotot di depan suaminya untuk mempertahankan karirnya yang selama ini dibangun. Sedangkan sang suami merasa memiliki otoritas akan berusaha meminta istrinya berhenti bekerja agar bisa fokus mengurus rumah tangga. Dengan catatan sang suami sudah merasa mampu memenuhi kebutuhan perekonomian rumah tangga. Bagaimanapun juga peran seorang perempuan memang sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Dimana seorang perempuan yang harus berjuang di ujung tombak rumah tangga harus mampu memanage semua kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan emosional keluarga (suami dan anak). Ibaratnya kemanapun seluruh penghuni menapakkan kaki, mereka tahu bahwa ada rumah yang teduh untuk membuatnya kembali. Namun jika perempuan tidak mampu memainkan perannya sebagai seorang perempuan secara emosionalnya, iya jangan pernah disalahkan jika rumah serasa neraka yang harus dijauhi. Itu mengapa perempuan diciptakan dengan kelemahan fisik dan kelemahlembutan hatinya, namun memiliki keteguhan yang kuat luar biasa. Hal inilah yang perlu disyukuri. Dan bukankah Tuhan telah meletakan diri perempuan dengan derajat yang tinggi ?. Oke, pada dasarnya sependek pengetahuan saya, urusan inipun sebenarnya adalah tugas dan tanggungjawab laki-laki. Namun gals, bukankah perempuan juga diberi keleluasaan oleh Allah untuk beribadah dengan membantu meringankan tanggungjawab suami ? Apakah salah jika berbagi tugas. Toh imbalan yang didapatkan adalah berlipat ganda dari Allah.
Namun demikian, pada kasus yang lainnya. Dimana para laki-laki menggunakan hak otoritasnya dan kemudian mengalahkan ego-nya sehingga menjadikan dirinya manusia yang egois, itu akan menjadi kasus yang berbeda. Dalam kasus yang pernah saya temui. Dimana kapasitas seorang perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Dimana kapasitas tersebut tidak hanya dalam kapasitas finansial namun juga dari segi pendidikan, karir dan pola fikir. Mungkin jika perempuan yang kuat dan luar biasa dia tetap akan bisa menempatkan diri sebagai perempuan dengan tetap menghormati dan mengharagai segala hal dari laki-laki tersebut. Namun sang laki-laki berbuat hal yang sebaliknya ? Disaat dia sudah mendapatkan perempuan sedemikian rupa, dan kemudian dia menikmati hidup dengan tidak berusaha memenuhi kewajibannya sebagai laki-laki dalam memberi nafkah lahir, lantas dimana letak cinta yang dulu dielu-elukan ? Dia merasa memiliki kuasa sebagai laki-laki. Sehingga dia bebas berbuat sesuka hatinya dan memaksa istrinya nurut dan memenuhi perintahnya. Lantas kenapa dulu dia tidak mencari pembantu saja ? Mengapa harus mencari istri ?  Atau jika rasa gengsinya telah keluar dan kemudian dia memperlakukan perempuan semena-mena sehingga kehilangan akal sehatnya. Dia merasa kekurangannya adalah suatu hal yang fatal baginya karena dia harus terus “merasa” kalah saat diskusi yang berujung pada perdebatan dan kemudian pertengkaran. Mungkin ini tidak akan murni disebabkan oleh itu saja. Namun manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak akan terlepas dari berbagai permasalahan yang kemudian kesemuanya akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Nah, jika hubungan tersbut diawali dengan kata cinta, lantas dimanakah cinta berada disaat adu saling mencakar terjadi ? Sekali lagi hubungan yang paling kompleks di dunia ini adalah hubungan manusia spesifiknya dua manusia lawan jenis yang saling bertemu, tertarik dan mengungkapkan kata cinta.
Melihat kasus-kasus tersebut sebenarnya adalah hal yang sangat simpel disaat otak kita sedang sehat. Namun terjadi sebaliknya ketika saat manusia sedang “gila” ( red : keadaan marah ). Penyelesaian kasus tersebut adalah saling mengerti dan saling memahami dan kemudian menghidupkan lagi cinta pada masa remaja yang mungkin telah mulai usang.

Pabelan, 25-3-2016 – 12:30 AM

Rabu, 05 November 2014

Organisasi dan Generasi

Coret-coret curhat,
Berawal dari seorang teman yang mengirim pesan melalui aplikasi pribadi whosap bercerita tentang kegundahannya yang mulai merasuki jiwanya. Kegundahan itu berawal dari masa kuliahnya yang sudah hampir melebihi masa limited tapi belum juga kelar bahkan masih harus masuk kuliah di weekdays demi 11 SKS nya. Kemudian menurut dia bercerita tentang beberapa masalah yang sedang dihadapinya yang menurut dia menjadi penghalang untuk segera menyelesaikan masa study itu.  Dari beberapa yang dia point-kan itu salah satunya disebabkan karena rasa tanggungjawab nya ke organisasi. Dan tentunya disebabkan karena pasangan juga menjadi nomor urut juga :D hehehe Intermezzo-lah. Dari saya pribadi hanya ingin sedikit berbagi saya tentang penyebab molor-nya waktu lulus kuliah karena Organisasi.

menjadi teringat saat dulu detik-detik masa akhir saya. Saya pun sudah mulai enggan untuk menyelesaikan skripsi saya, bukan karena saya malas atau apa, karena saya bisa dibilang all out banget buat menyelesaikan skripsi dengan cepat. Meski bukan tercepat, tapi 3 bulan saya kebut skripsi dan itu saya harus bolak-balik ke kota sebelah untuk mencari data. Jarak tempuh kota saya ke kota sebelah ini kurang lebih 2 jam menggunakan motor, dan 3 jam ke sekitar lokasi penelitian. Selama itu pula 3 kotak ruangan yang menjadi basedcamp organisasi yang menaungi saya menjadi rumah utama saya. Meski rumah saya tidak jauh dari kampus, tapi saya lebih merasa nyaman saja ketika saya berada diantara saudara-saudara se-iman. Se-iman dalam hobby maksudnya. :) Namun, justru disini gejolak batin saya mulai terjadi. Banyak hal yang telah mereka beri ke saya, tapi sya merasa menjadi seorang yang tidak berguna karena tidak mampu memberikan mereka sesuatu.  Saya bukan seorang organisator yang baik. Belum bisa menjadi contoh yang baik pula untuk mereka. Sekian perjalanan akhirnya kembali lagi hadir dalam bayangan saya. Saat-saat saya tidak bertanggungjawab, saat-saat emosi saya meluap, saat-saat saya melakukan berbagai kesalahaan. Saya tersadar, saya telah meninggalkan banyak keburukan. Saya merasa ada beban moral dalam diri saya. Tapi kesempatan itu seakan-akan tidak mungkin lagi aku miliki. Disisi lain, tanggungjawab lain telah menanti saya, tanggungjawab pada orang tua dan keluarga tentunya. Jauh dari pada itu tanggungjawab saya terhadap generasi saya nanti. Akhirnya saya memutuskan untuk menersukan langkah tanpa bisa memperbaiki kesalahan saya.

Begitupun yang diceritakan oleh teman saya, saat dia mulai membicarakan enggan untuk meninggalkan organisasi dengan alasan merasa genarasi berikutnya belum mumpuni. Saya pribadi merasa dia belum ada keikhlasan untuk terus melangkah lebih jauh. Entah ini dia masih in the box of comfort dan belum siap untuk out of box atau dia memang betul-betul belum bisa percaya kepada generasi berikutnya. Jika memang betul alasan satu-satunya adalah pernyataan yang kedua, saya turut prihatin. ketika saya tanya apa alasan dia mengatakan hal tersebut. Alasannya adalah "karena generasi berikutnya sangat sulit untuk diajak belajar", saya termangu sejenak. Berfikir dan berflash-back lagi. Sejenak dan sejenak. Teringat pula percakapan dengan teman saat saya berada di RSUD Cepu, teman yang baru kenal dengan pola fikirannya yang luar biasa. Berfikiran luas dan bebas. Tidak konservatif sesuai dengan jalan tol yang telah dibuat oleh generasi-generasi sebelumnya. Disisi ini, saya sangat tau kurangnya jam terbang saya untuk mengenal teman-teman lain dari luar, membuat saya sangat tertinggal jauh dari organisasi-organisasi lain yang se-iman (Red-Hobby). Sedikit mengambil opini dari teman di Cepu tersebut, saya mulai mengetik jawaban sebagai solusi untuk teman saya melalui whosap. singkat dan sedikit tambahan bumbu cabe tentunya "Biarkan mereka memilih warna mereka sendiri untuk melanjutkan organisasi, jangan men-judge dari satu sisi saja. Apalagi itu sisi kamu". Kemudian saya lanjutkan dengan tambahan cabe plus merica "Jika mereka tidak mau belajar, itu bukan karena mereka yang salah. Tapi karena kamu tidak tau cara yang tepat untuk mengajak mereka belajar". begitulah yang saya rasakan juga di tempat saya tentunya. Zaman setiap generasi itu sudah berbeda, mungkin masa kecil saya bermain masak-masakan, petak umpet ataupun kelereng ini masih menjadi permainan yang sangat asyik, tapi zaman mereka mungkin game dan ps. Jadi bukan lagi saatnya kita menjejali mereka metode-metode jadul yang belum di-upgrade. Jikalau, metode jadul tersebut masih bagus, tidak ada salahnya metode tersebut tetap dilanjutkan mungkin dipenetrasikan dengan metode terbaru juga. Dalam organisasi kita bukan bermain dengan robot, tapi kita bermain dengan manusia. Butuh pendekatan secara emosional juga didalamnya. Untuk mengerti dan memahami.

Semoga triple "C" ini bisa bermanfaat bagi pembaca. sederhana saja, sekelumit tulisan dari hati. 

--CL--

Selasa, 28 Oktober 2014

Indonesia Hebat.


Bukan berarti saya akan menganaktirikan para tetua. Bukan berarti saya akan membuat diri mereka tersisih. Namun, saya hanya memanfaatkan filosofi sejarawan yang cerdas yang pernah memimpin Indonesia. Ir. Soekarno. Dimana beliau hanya membutuhkan 10 seorang pemuda dan akan mengguncang dunia. Begitupu saya, bukan berarti saya hanya membutuhkan 10 pemuda dan akan saya guncang dunia. Tidak. Saya tau siapa saya dan seberapa kemampuan diri saya. Saya hanya ingin mencari, melihat dan menyimpulkan sisi lain dari Bangsa Indonesia. Terutama di pulau Jawa ini. dimana hal ini akan saya dapatkan dari observasi-observasi langsung maupun secara tidak langsung. Saya hanya ingin terlibat langsung dan kemudian merasakan menjadi mereka. Karena saya juga tau, saya juga bagian dari mereka dari belahan bumi yang berbeda.
Pemuda Indonesia, pemuda yang berbakat dan hebat. Itulah sebenarnya kata yang tepat bagi Negara berkembang Indonesia tercinta ini. Ide ini bermula dari percakapan saya dengan teman yang baru kenal saat pendaakian ke Gunung Lawu. Sesama cucu Ahmad Dahlan, saya merasa kami telah terdidik dan besar di bawah atap yang sama. Kemudian sesama anggota Mahasiswa Pecinta Alam pula. Pemikira-pemikiran dan karakter yang khas kami miliki, tentunya akan kami temui sebuah pemikiran yang sama pula. Ditambah lagi hobby membaca dan menulis. Perbedaannya, saya terlahir dari Ahmad Dahlan yang sepi. Kota Ponorogo nan sepi dan damai. Sebuah kota yang sedang berkembang dengan memiliki jumlah TKW yang sangat besar di Jawa Timur. Sebuah kota yang menerbitkan buku nikah terbanyak setelah adanya kehamilan, dan menerbitkan surat cerai terbesar setiap tahunnya dengan kasus dengan latar belakang TKW. Sedangkan kedua teman saya merupakan cucu Ahmad Dahlan yang terlahir di Surakarta dan Yogyakarta. Keduanya merupakan kota pelajar dan kota Budaya yang tentunya memiliki kontribusi besar terhadap Negara kita tercinta ini. sebagai mahasiswa yang telah belajar dan menghabiskan masa remaja di kota besar, tentunya memiliki lebih banyak fasilitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Apalagi keduanya pernah menjabat sebagai Ketua Umum di MPA masing-masing mereka mencari ilmu. Secara otomatis dari sisi ini saya harus banyak belajar dari mereka. HARUS.
Tapi ada hal yang perlu diketahui, bahwa tidak semua mata melihat sebuah obyek dari sudut yang sama. Tidak semua fikiran menerima hasil kerja mata dan kemudian merefleksikannya ke dalam otak dengan sudut pandang yang sama. Terkadang dari sebuah balok seseorang kan melihat bagian depannya saja, atau samping atau belakang saja. Namun ada juga yang akan melihatnya dari semua sisi secara 3 dimensi. Dan ini akan menghasilkan sudut pandang secara obyektif dan lebih meluas. Sayangnya hal seperti ini sangat sulit ditemui. Tidak mudah. Begitupun saya, yang tidak akan bisa melihat sisi Indonesia dari berbagai sudut. Dan saat ini saya akan memaparkan sisi Indonesia dari sudut pemuda-pemudanya. Bahwa Indonesia itu sebenarnya hebat dan cerdas. Bahwa bukanlah suatu Negara berkembang yang hanya bisa dicaci dan diremehkan oleh Negara tetangga. Yang warganya tidak bangga dan tidak mau menjunjung tinggi harkat martabatnya. Yang hanya melihat kekayaan alamnya dan kemudian tetap mencaci karena belum becusnya pemimpin dalam memimpin Negara dengan baik. Yang memiliki ambisi kuat melihat Negara sebelah dengan segala metode pendidikannya dan kemudian tidak memberikan solusi positif bagi Negara. Bahwa kita ini juga masyarakat, dimana kita juga belum tentu bisa menjadi pemimpin yang diharapkan. Menjadi khalifah di Negara ini sehingga membawa dampak positif terhadap kemajuan dan kemerdekaan haqiqi Negara. 
Ide untuk berkeliling Negara ini dan menuliskannya dalam sebuah buku. Tulisan tentang kehebatan dan kecerdasan pemuda Indonesia yang sangat membutuhkan pendampingan dan bibmbingan para pemimpin yang telah lebih dahulu mendapatkan pendidikan secara layak. Saya sangat ingin melihat apa yang sebenarnya mereka fikirkan untuk Bangsa ini. ingin melihat apa sebenarnya yang mereka butuhkan untuk terciptanya cita-cita Negara yang aman dan makmur. Dimana saya sering melihat kreatifitasan para pemuda yang sangat cerdas namun tidak terakomodi dengan baik, dan kemudian hilang secara sia-sia. Dimana mereka ingin berkarya tapi tidak ada tempat, mereka ingin belajar tapi tidak ada biaya, sekolah gratis yang digadang-gadang pemerintahpun tidak mampu meloloskan mereka dalam pendidikan yang layak dan patut. Kemudian timbul pengangguran-pengangguran dari kalangan non pendiidkan sampai ke pendidikan yang sangat tinggi. Dan masih banyak sekali PR Bangsa ini yang harus digarap. Dan ini bukan PR bagi para pejabat saja, bagi untuk kita semua. Ingat, Negara ini tidak butuh warga yang pinter berdiskusi di atas meja tapi tidak mau tahu keadaan luar, namun Negara ini butuh tindakan cepat. Melalui hal-hal kecil, sepele tapi sangat dahsyat hasilnya.
21 Agustus 2014
Padangan, Kamar Kost

----CL----

Rabu, 26 Juni 2013

JTV Sebagai Media Informasi Budaya Yang Berprestasi Tapi Perlu Digarisbawahi



JTV merupakan salah satu sasiun televise local yang terletak di Kota Surabaya Jawa Timur. Yakni stasiun televise yang menggunakan bahasa suroboyoan sebagai ikon televise tersebut. Sebagai salah satu media massa elektronik yang semakin berkembang dan menjamur, JTV memilih program-program budaya sebagai content penyiarannya. Begitupun bahasa suroboyoan, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya daerah Ibu Kota Jawa Timur tersebut. Program-program budaya JTV seperti blakraan, seharusnya mendapatkan acungan jempol dari masyarakat. Karena di program ini, masyarakat akan mendapatkan berbagai informasi budaya dari program tersebut ditambah lagi dengan pengemasan acara yang menggunakan bahasa Suroboyoan. Disamping itu, presenter atau pembawa acara ( cak Eko Albaroyo ) yang aktif dan selalu humoris. Pengemasan program dengan sangat apik yang selalu menyertakan nara sumber dan opini-opini masyarakat memberikan berbagai persepsi terhadap audiens. Meskipun begitu, presenter tidak melulu berbicara secara langsung, namun didukung dengan pembacaan text secara narativ. Sehingga memberikan penjelasan yang lebih jelas terhadap audiens, dibandingkan sekedar perkataan presenter di saat berada di lapangan. Hal-hal tersebut tentunya memberikan nilai plus bagi JTV, karena secara tidak langsung audiens JTV merupakan masyarakat Jawa Timur sendiri dan yang terletak di daerah pinggiran. Dimana masyarakatnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak untuk diajak berfikir secara jauh.
Berfikir secara jauh adalah, berfikir secara lebih mendalaam untuk mengkritisi segala kata demi kata yang tengah disampaikan oleh presenter JTV. Karena media massa bertugas untuk mencipatakan opini public, sehingga apa yang disampaikan oleh presenter melalui program-program televise akan menciptakan suatu opini public terhadap masyarakat, yang nantinya akan mempengaruhi fikiran dan perilaku tiap audiens. Tidak menutup kemungkinan, tiap program JTV memberikan pengaruh yang positif ataupun negative terhadap public atau masyarakat.
JTV yang merupakan singkatan dari Jawa Pos Media Televisi ini, satu-satunya televisi swasta yang tetap mempertahankan ikon bahasa daerahnya. Meskipun tidak semua program-programnya menggunakan bahasa suroboyoan, namun JTV yang memiliki slogan satus persen jatim JTV rek, ini selalu dikenal dan dikenang dengan bahasa suroboyoannya. Meskipun begitu, ada hal yang harus digarisbawahi oleh pihak JTV maupun pihak audiens dalam mengkonsumsi program-programnya. Meskipun banyak nilai plus dan mendapatkan acungan jempol untuk televise yang berumur muda ini, namun ada satu programnya yang sangat membuat masyarakat resah. Yakni pojok kampong. Hal ini sudah tidak asing lagi untuk dibahas. Banyak sekali blog ataupun suara-suara masyarakat yang dilontarkan melalui media massa. Namun, pihak JTV sendiri masih tetap mempertahankan bahasa suroboyoan yang sebenarnya tidak harus seperti itu dalam penayangannya. Maksudnya adalah, bahasa suroboyoan yang cenderung kasar, yang sebenarnya masih bisa menggunakan bahasa yang lebih halus dalam maknanya tapi tidak mengurangi branding-nya sebagai bahasa suroboyoan. Karena sebenarnya bahasa suroboyoan itu tidak melulu menggunakan bahasa yang kasar. Hanya aksen dan dialegnya saja yang kasar. Suatu missal kata “matek” seharusnya hal itu bisa menggunakan dengan bahasa yang lebih halus sperti “seda” atau “kapundut”. Hal ini sangat tidak mencerminakan budaya Indonesia yang selalu sopan dan selalu menjaga dan menghargai orang yang lebih tua. Contoh lain dan lebih ekstrim adalah kata “mbadhok” yang sebenarnya bisa dikatakan dengan kata “mangan” sama-sama kasar tapi lebih memliki kesan sopan. Kata-kata “mbadhok” biasa digunakan oleh para jalanan atau mereka yang memang terbiasa dengan hidup yang tidak teratur. Jika hal ini terus menerus dilanjutkan, bagaimana dengan nasib anak-anak yang menyaksikan tayangan tersbut. Yang nota bene memiliki kaarakter sangat labil dan mudah terpengaruh. Seharusnya dari pihak JTV berfikir sejauh itu, agar stasiun televise tetap menjalanakan kewajibannya, yakni pertanggungjawaban moral terhadap sikap penonton terhadap program-program yang disajikan.
Meskipun begitu, tidak pula yang sedikit untuk terus mendukung program ini dengan bahasa yang ada. Alas an mereka ini adalah budaya yang harus dilestarikan, ada juga yang mengatakan dialek yang lucu, membuat ketawa dan membuat kangen pemirsa untuk selalu mengikuti program ini. Namun, tidakkah mereka ingat bahwa banyak generasi bangsa yang belum siap untuk mengkonsumsi tayangan seperti itu. Meskipun tayangan pojok kampong ditayangkan pada jam-jam istirahat, yakni pukul 21.00 WIB dimana banyak anak sekolah yang sudah menuju ke tempat tidur, namun tidak sedikit pula anak-anak kecil yang masih membuka mata dan nimbrung menikmati pemberitaan pojok kampong yang vulgar. Pengaruhnya tentunya sangat luar biasa. Mereka yang sudah terlelap akan mem”beo” dari ucapan yang belum terlelap dan ikut nimbrung tadi. Sudah sangat jelas dan bisa dipastikan. Apalagi anak-anak ketika berada di lingkungan sekolah akan terlepas dari pengawasan orang tua. Hal ini tentunya akan menjadi racun yang secara perlahan akan membunuh pendidikan karakter anak-anak.
Banyak hal yang harus ditingkatkan rasa peduli masyarakat terhadap kemajuan dan keterlindungan budaya. Namun tidak boleh disampingkan unsure pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang positif agar tercipta sikap yang positif terhadap generasi penerus. Begitupula dengan media massa terutama televise, yang notabene menjadi suatu media massa yang terdekat dengan public. Dimana setiap kegiatan anak-anak yang tidak terlepas dari menonton televise, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi pelaku pers atau programmer televise. Bahwa tugas mereka tidak hanya menyajikan berbagai menu yang menarik untuk dikonsumsi dan menghasilkan banyak untung. Namun unsure pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Dengan begitu, televise akan menjadi suatu media yang sangat strategis untuk mendidik, mengajar, menghibur dan menginformasikan berbagaai hal ke khalayak. Jika semua itu telah terealisasi, maka tidak perlu lagi para orang tua untuk terlalu khawatir terhadap tayangan televise untuk ditonton buah hatinya.

Rabu, 12 Juni 2013

Potret Pelanggaran Pers dan Perlindungan Pemerintahan Indonesia


POTRET PELANGGARAN PERS DAN PERLINDUNGAN PEMERINTAH INDOENESIA
Secara umum pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (UU Pers No 40/1999 pasal 1 ayat 1). Dan menurut Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi M.A, mendefinisikan pers sebagai lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara di mana ia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Pers adalah sebuah sistem yang terbuka dan probabilistik, artinya pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan dan di sisi lain, pers juga memberikan pengaruh yang tidak dapat diduga kepada lingkungannya.
Dari kedua definisi diatas memberikan suatu pengertian dimana pers merupakan kegiatan komunikasi massa yang menggunakan berbagai bentuk media jenis apapun, yang memiliki suatu kebebasan untuk menyuarakan sutau opini, berita atau apapun yang menjadi suatu sumber informasi terhadap massa, namun tetap memiliki suatu batasan yang diatur oleh Kode Etik Jurnalistik seperti halnya dalam  UU Pers No 40/1999.
Kode etik adalah sistem norma, nilai, aturan, yang secara tegas menyatakan mana hal yang benar dan mana yang salah. Serta menyatakan perbuatan mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindari. 
Tujuan kode etik sendiri adalah  : Untuk menjunjung tinggi martabat profesi, Untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan para anggota,Untuk meningkatkan pengabdian para anggota, untuk meningkatkan mutu profesi, mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat. Pers memang selayaknya tunduk pada aturan – aturan yang ada, tapi pers pun tidak sesempurna itu. Ada-ada saja hal yang menyebabkan adanya pelanggaran aturan tersebut. Berikut adalah contoh pelanggaran kode etik jurnalistik :
1. Sumber rekayasa :   Sumber peliputan dalam berita haruslah jelas dan tidak  boleh fiktif atau hanya rekayasa semata.
2. Memuat identitas korban asusila :   Untuk menjaga nama baik korban maupun keluarga si korban, pers harusnya tidak mencantumkan identitas si korban, tanpa seizin dari korban maupun keluarganya.
3. Sumber berita tidak jelas :  Dalam liputan pers, sumber beruta harus lah jelas, dan tidak simpang siur agar tidak menimbulkan pertanyaan publik.
4. Wawancara fiktif :  Demi menunjukan kehebatan, terkadang  mengada – ada hasil wawancara yang tidak pernah dilakukan.
5. Membocorkan identitas narasumber :  Wartawan memiliki hak tolak dalam kasus tertentu,yakni untuk tidak mengungkapkan jati diri narasumber. Hal ini dilakukan guna melindungi si narasumber yag mungkin saja sedang terancam bahaya. Dan masih banyak lagi contoh penyimpangan pers lainnya.
Penyebab terjadinya penyimpangan pers sendiri sangat bervariasi, diantaranya yaitu :
1.    Tingkat profesionalisme belum memadai
2.    Tekanan deadline
3.    Pengetahuan dan pemahaman terhadap jurnalistik masih kurang
4.    Persaingan pers
5.    Pers hanya digunakan sebagai topeng untuk melakukan tindakan criminal.
Dan masih banyak factor lainnya yang akhirnya akan membuat atau memberikan peluang terjadinya pelanggaran pers. 
              Pers menjadi sebuah wadah untuk menciptakan opini public yang saat ini masih sering digunakan oleh masyarakat untuk mengeluarkan aspiransinya atau segala argumennya. Semisal di media massa pada media cetak, Koran. Masyarakat akan memberikan berbagai opininya dan akan saling melengkapi atau mungkin akan saling menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya. Contoh yang paling mudah dan paling konkrit adalah, media elektronik, televise. Artis yang tengah brtengkar akan memberikan opininya terhadap artis lainnya dan kemudian si artis yang lain akan memberikan argumennya sebagai pembelriaan diri.
Dalam hal ini, pers memiliki kewajiban untuk membrikan tempat atau ruang terhadap khalayak sebagai bentuk pembelaan seperti dalam UU No. 40/ 1999 pasal 5, ayat 2. Dimana pers wajib memberikan pelayanan hak jawab terhadap massa. Demikian, karena pers harus memberikan inrformasi kepada masyarakat melalui pandangan obyektifitas. Pelaku pers harus bersikap pasif dan tidak memihak kepada siapapun.
Dalam kode etik jurnalistik, UU no. 40 / 1999, Pasal Pasal 15 ayat 1 dan 2, tentang Dewan Pers menyatakan :
1.    Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2.  Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a)   melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b)   melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c)   menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d)     memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e)     mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f)      memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g)   mendata perusahaan pers;
Disini dijelaskan kebebasan pers telah independen dan tidak lagi mendapatukan intervensi-intervensi dari pihak manapun. Maka dari itu diterbitkanlah UU no. 40 th. 1999 Kode Etik Jurnalistik sebagai batasan-batasan pers. Sangat berbeda di zaman orede baru, pada masa pemerinthannya Bapak Soeharto, pers tidak mendapatkan kebebasan untuk menulis berbagai informasi dan argument. Segala bentuk penyiaran harus membela pemerintahan meskipun kenyataannya pemerintah tengah melakukan kesalahan.
Sejarah pers yang tengah mengalami intervensi dan otoritas pemerintah ini akhrnya berakhir pada masa pemerintahan Bpk. Bj. Habibie pada masa reformasi. Disinilah massa dan para jurnalistik mampu mengekspresikan  berbagai opininya ke media massa, sehingga mampu  menciptakan berbagai bentuk opini public, dan pers sendiri akhirnya menemukan jati dtirnya.
Namun, tiada gading yang tak retak. Segala apa yang telah diciptakan di dunia ini selalu ada kebaikan dan keburukan. Ketika sesuatu yang baik tengah memasuki Negara Indonesia melalui pers-nya, disaat itu pula para sampah masyarakat menciptakan ide baru untuk mengelabuhi dan membodohi. Suatu missal yang sangat konkrit adalah, dimana berbagai kejahatan para pemerintah bias disembunyikan para pelaku pers dari media massa. Hal ini terjadi adanya sifat “politik” tidak sehat yang terjadi ssama mereka. Mungkin ini bias disebut sebagai wartawan yang tidak professional. Dimana dia memahami tugas dan kewajibanny, namun diabaikan untuk beberapa rupiah.
Namun, inilah Indonesia yang pada saat ini dikenal oleh seluruh penjuru dunia dengan korupsinya. Dimana masyarakatnya telah diajarkan dan dibiasakan dengan ketidakjujuran. Tidak hanya pejabat yang duduk di kursi parlemen saja yang mampu melakukan korupsi, namun petani pun bias melakukannya.
Tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada perusahaan-perusahaan jurnalistik di Indonesia. Dimana para pengusaha akan membayar sekian rupiah kepada pejabat yang berwenang agar perusahaannya tetap beroperasi meskipun banyak terjadi penyimpangan pada penyiarannya.
Sebagai Negara yang masih berkembang, dan dalam sejarahpun pers Indonesia baru mengalami kemerdekaan sekitar 15 tahun, maka perlu pembenahan di dalamnya. Mendidik dan menciptkan para jurnalis yang cerdas dan teguh  terhadap komitmen, seharusnya menjadi misi utama para jurnalis Negara Indoenesia saat ini. Bagaimanapun, pengaruh pers sangat besar terhadap kemajuan dan kemakmuran bangsa ini.